TANJUNG REDEB – Dugaan suap yang melibatkan tiga hakim di Pengadilan Negeri (PN) Tanjung Redeb kembali menjadi sorotan publik. Kasus ini merupakan kali kedua dalam beberapa tahun terakhir yang menyeret nama oknum hakim di pengadilan kelas II tersebut.
Ketua PN Tanjung Redeb, John Paul Mangungsong, menyatakan bahwa pihak pelapor tidak pernah melayangkan laporan secara resmi ke institusinya. Menurutnya, laporan langsung disampaikan ke Badan Pengawas Mahkamah Agung (Bawas MA) dan Komisi Yudisial (KY).
“Tidak ada laporan yang masuk ke PN Tanjung Redeb. Kami hanya mendapatkan informasi bahwa pelapor menyampaikan bukti langsung ke Bawas MA dan KY,” kata John, Senin (13/1/2025).
John mengakui, hakim berinisial L merupakan Ketua Majelis dalam perkara nomor 18 yang sedang disidangkan. Sementara hakim berinisial M, yang juga disebut dalam laporan, saat ini tengah menjalani sanksi disiplin dan telah dipindahkan ke Pengadilan Tinggi.
“Memang benar M sebelumnya menangani perkara itu. Tapi sanksi terhadapnya baru turun pada September 2024,” ungkapnya.
John mengatakan, pihaknya telah melakukan klarifikasi internal kepada para hakim yang disebut dalam laporan, yakni L, M, dan seorang lagi berinisial R. Ketiganya membantah keras menerima suap yang diduga disalurkan melalui seseorang bernama Febrie Ramadan.
“Nama Febrie yang disebut sebagai penerima tidak tercatat sebagai pegawai atau bagian dari PN Tanjung Redeb,” tegasnya.
Namun, pernyataan tersebut dibantah oleh kuasa hukum pelapor, Yulianto, yakni Syahrudin. Ia menyatakan bahwa Febrie adalah sosok yang sama seperti yang terlibat dalam kasus sebelumnya, yang juga berkaitan dengan hakim M.
“Febrie adalah anak dari mantan panitera PN Tanjung Redeb dan memiliki kedekatan personal dengan hakim M,” ujar Syahrudin.
Ia menambahkan, dalam laporan yang telah disampaikan ke KY dan Bawas MA, terdapat bukti berupa kuitansi pembayaran senilai Rp500 juta serta pembelian dua unit ponsel mewah senilai Rp46 juta yang ditandatangani Febrie. Dalam kuitansi tersebut, Febrie disebut sebagai ‘asisten hakim’.
“Pengakuan bahwa Febrie adalah asisten hakim itu sendiri sudah menimbulkan dugaan tindak pidana umum, karena ia bukan bagian dari institusi resmi. Ini bisa dikategorikan pemalsuan jabatan dan dokumen,” terang Syahrudin.
Menurutnya, nilai awal suap yang diminta mencapai Rp2,5 miliar, namun setelah negosiasi disepakati menjadi Rp1,5 miliar.
Lebih jauh, Syahrudin menyebutkan bahwa saksi fakta yang tidak ia ungkap identitasnya menyatakan Febrie terlibat langsung dalam proses negosiasi, termasuk pertemuan yang berlangsung di rumah dinas hakim M maupun kediaman hakim L.
“Tidak mungkin tidak saling mengenal. Berdasarkan kesaksian kami, Febrie hadir dalam setiap proses negosiasi,” katanya.
Syahrudin mengatakan pihaknya siap jika Komisi Yudisial dan Bawas MA ingin memeriksa mereka, termasuk mengungkap identitas saksi fakta dan bukti pendukung lainnya.
“Kami siap memberikan keterangan jika diminta oleh KY maupun Bawas MA. Kami juga menunggu arahan dari klien kami untuk menempuh jalur pidana umum,” tandasnya.