Dalam lanskap ekonomi yang terus bergerak cepat, di mana disrupsi teknologi dan dinamika pasar global silih berganti datang, kebutuhan akan sumber daya manusia yang adaptif dan inovatif menjadi keniscayaan. Di tengah konteks ini, pernyataan Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dony Oskaria, yang sekaligus menjabat sebagai Chef Operating Officer (COO) Danantara, menarik perhatian. Ia menegaskan bahwa Danantara membuka lebar pintu kolaborasi dengan dunia kampus.
Pernyataan ini, meski terkesan normatif, sesungguhnya bisa dibaca sebagai sinyal strategis dari sebuah entitas yang terhubung dengan BUMN. Ini bukan sekadar undangan basa-basi, melainkan cerminan dari kesadaran bahwa talenta unggul dan pengetahuan mutakhir yang bersemayam di perguruan tinggi adalah aset krusial untuk menjaga relevansi dan daya saing di masa depan.
Tak bisa dipungkiri, sektor badan usaha milik negara memiliki tantangan unik dalam menghadapi perubahan. Struktur organisasi yang kerap besar, proses yang berlapis, ada kalanya membuat pergerakan terasa kurang gesit dibanding sektor swasta murni. Untuk itu, menyuntikkan “darah segar” dari kampus melalui program magang, riset bersama, rekrutmen langsung lulusan terbaik, atau bahkan program pengembangan kepemimpinan khusus, bisa menjadi jalan pintas mengakselerasi adaptasi.
“Hubungan antara industri dan akademisi adalah fondasi penting, terutama bagi entitas sebesar BUMN atau yang terkait erat dengannya,” ujar Dr. Retno Wulandari, seorang pengamat kebijakan publik.
Menurutnya, “Keterbukaan Danantara terhadap kampus dapat dilihat sebagai langkah pragmatis untuk menjembatani kesenjangan antara teori di bangku kuliah dan praktik di lapangan, sekaligus memudahkan identifikasi calon karyawan potensial yang memiliki kebaruan cara pandang.”
Lebih jauh, kolaborasi ini berpotensi merangsang inovasi. Penelitian yang dilakukan di kampus acap kali memiliki kedalaman teoretis yang kuat, sementara industri memegang data dan tantangan riil. Pertemuan keduanya bisa melahirkan solusi-solusi kreatif untuk persoalan bisnis maupun operasional yang dihadapi Danantara. Ini bisa mencakup pengembangan teknologi baru, perbaikan proses bisnis, hingga perumusan strategi keberlanjutan yang kini makin jadi sorotan.
Namun, suksesnya kolaborasi ini tentu tidak datang begitu saja. Butuh mekanisme yang jelas, program yang terstruktur, serta komitmen dari kedua belah pihak agar “keterbukaan” ini benar-benar terwujud menjadi sinergi yang produktif, bukan sekadar wacana. Universitas perlu memahami kebutuhan praktis industri, sementara Danantara perlu menyediakan ruang dan kesempatan nyata bagi mahasiswa maupun akademisi untuk berkontribusi.
Di pertengahan 2025 ini, ketika dunia masih bergulat dengan ketidakpastian ekonomi global dan tuntutan transformasi digital yang makin mendesak, langkah Danantara merangkul dunia akademik bisa menjadi secercah harapan. Ini adalah pengakuan bahwa masa depan organisasi sangat bergantung pada kualitas sumber daya manusia dan kemampuannya beradaptasi dengan ilmu pengetahuan terkini. Tinggal dinanti, sejauh mana keterbukaan ini akan diimplementasikan dan seberapa besar dampaknya bagi kemajuan Danantara dan ekosistem BUMN secara lebih luas.