SAMARINDA — Insiden dugaan intervensi terhadap jurnalis kembali mencuat, kali ini melibatkan Asisten Pribadi (Aspri) Gubernur Kalimantan Timur (Kaltim), Rudy Mas’ud. Peristiwa ini terjadi pada Senin (21/7/2025) sore di halaman Kantor Gubernur Kaltim, Jalan Gajah Mada, Kota Samarinda, usai acara penandatanganan nota kesepahaman kerja sama pelestarian lingkungan dengan sebuah yayasan.
Sejumlah jurnalis yang hadir melakukan wawancara doorstop dengan Gubernur Rudy Mas’ud. Dalam sesi tanya jawab tersebut, Muhammad Fatih, jurnalis dari KaltimKece.id, mengajukan pertanyaan mengenai ketidakhadiran unsur pimpinan Pemprov Kaltim yakni gubernur, wakil gubernur, dan sekretaris daerah—dalam Rapat Paripurna ke-25 DPRD Kaltim yang digelar di hari yang sama.
Belum sempat pertanyaan tersebut dijawab tuntas oleh Gubernur, seorang perempuan bernama Senja yang merupakan asisten pribadi gubernur, tiba-tiba menghentikan wawancara secara verbal. Ia terdengar beberapa kali memotong pembicaraan dengan mengatakan,
“Sudah selesai, sudah selesai, mas, mas, mas. Tandai-tandai,” dengan nada tegas.
Senja kemudian mendekati Fatih dan mempertanyakan identitas medianya. Ia juga menegaskan bahwa pertanyaan wartawan seharusnya dibatasi hanya pada topik acara hari itu.
“Mas dari media mana? Kami minta pertanyaannya hanya seputar agenda kegiatan,” ucapnya dengan nada mengatur.
Sikap tersebut sontak memicu reaksi dari jurnalis lainnya yang berada di lokasi. Irwan, wartawan dari Arusbawah.co, mengungkapkan kekecewaannya terhadap tindakan yang ia nilai sebagai bentuk intervensi terhadap kebebasan pers.
“Itu bukan sikap yang pantas terhadap jurnalis. Kalau tidak ingin menjawab, ya sampaikan secara sopan, bukan dengan cara membungkam. Ini melecehkan profesi kami,” tegas Irwan.
Ia juga menambahkan bahwa tindakan semacam itu menciptakan suasana tidak kondusif dalam wawancara, dan bisa mengintimidasi jurnalis yang sedang menjalankan tugas.
“Ada tekanan psikologis yang muncul. Kami jadi tidak leluasa bertanya,” jelasnya.
Tindakan yang dilakukan Aspri gubernur itu dinilai menciderai prinsip-prinsip kebebasan pers sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal 4 Ayat 3 menyebutkan bahwa pers nasional memiliki hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan informasi.
Sejumlah kalangan meminta agar insiden ini menjadi perhatian serius Pemerintah Provinsi Kaltim. Mereka menekankan pentingnya edukasi terhadap para pejabat dan staf pendamping kepala daerah agar menghormati peran pers sebagai bagian dari demokrasi dan kontrol sosial. (Ahmad/Redaksi)