SAMARINDA – Menjelang pelaksanaan Musyawarah Daerah (Musda) Partai Golkar Kalimantan Timur, atmosfer politik terasa hening tanpa riak. Nama Rudy Mas’ud muncul sebagai satu-satunya kandidat kuat yang santer disebut akan kembali menahkodai partai berlambang pohon beringin itu untuk lima tahun ke depan.
Kondisi ini menuai sorotan dari akademisi dan pengamat politik Universitas Mulawarman, Saipul Bahtiar. Ia menyayangkan minimnya dinamika dalam proses perebutan kursi ketua.
“Sayang sekali, karena Golkar tidak bisa hanya dilihat dari situasi hari ini saja,” ujarnya.
Menurutnya, Partai Golkar memiliki sejarah panjang dalam dunia politik Indonesia. Sebagai salah satu partai tertua, Golkar dikenal memiliki pengalaman dan kematangan dalam menghadapi berbagai perubahan politik. Tak hanya itu, Golkar juga banyak melahirkan tokoh penting di tingkat daerah hingga nasional.
“Partai ini telah melewati banyak era politik dan bertahan dengan kekuatan struktur dan kaderisasinya,” lanjut Saipul.
Namun, ketenangan menjelang Musda tahun ini justru dinilai mencederai semangat regenerasi dan dinamika internal partai. Musda, kata Saipul, semestinya menjadi panggung pertarungan ide, adu gagasan, dan evaluasi atas kepemimpinan sebelumnya.
“Kalau arah politik dalam Musda ini sudah dikondisikan untuk menghasilkan aklamasi lewat calon tunggal, itu jelas merusak nilai-nilai demokrasi,” tegasnya.
Ia juga menilai, langkah tersebut justru menghilangkan ruang evaluasi terhadap capaian politik maupun program partai. Padahal, setiap penyelenggaraan Musda sebelumnya selalu diwarnai dinamika menarik dan kompetisi sehat.
Saipul menyinggung kembali gelaran Musda tahun 2015, di mana Rita Widyasari dan Said Amin terlibat persaingan ketat. Bahkan pada Musda 2020, Rudy Mas’ud harus bersaing melawan dua figur besar lainnya, yakni Isran Noor dan Makmur HAPK.
Baca Juga: Ramah Tamah PKK Nasional di Kaltim Jadi Ajang Pererat Kebersamaan dan Dukung Ketahanan Bangsa
Meski tak dapat dibantah bahwa Golkar masih menjadi partai dominan di Kaltim baik dalam pemilu legislatif maupun pilkada, Saiful mengingatkan agar kemenangan itu tidak dijadikan alasan untuk menutup peluang regenerasi.
“Jika benar hanya ada satu calon di Musda nanti, itu justru memperlihatkan kemunduran dalam sistem demokrasi internal partai,” jelasnya.
Apalagi selama ini, para elite Golkar selalu membanggakan partainya sebagai gudang kader potensial.
“Kalau memang kader melimpah, kenapa cuma ada satu nama yang muncul? Apa yang salah dengan proses politik mereka?” tutupnya. (Redaksi)