SAMARINDA – Langkah sejumlah partai politik yang menonaktifkan lima anggota DPR RI buntut pernyataan kontroversial dinilai belum menyentuh akar persoalan. Lima nama yang dinonaktifkan, yakni Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, Eko Hendro Purnomo (Eko Patrio), Surya Utama (Uya Kuya), dan Adies Kadir, kini menjadi sorotan publik setelah ucapannya dianggap melukai hati rakyat.
Menanggapi hal ini, Dosen Hukum Tata Negara (HTN) UINSI Samarinda, Suwardi Sagama, menegaskan bahwa keputusan partai politik tersebut masih setengah hati. Menurutnya, jika partai benar-benar ingin melakukan pembenahan, sanksi yang dijatuhkan seharusnya lebih tegas, bukan sekadar menonaktifkan sementara.
“Kalau partai politik serius berbenah, jangan hanya menonaktifkan. Kader-kader yang jadi pemicu masalah harus dipecat atau dicopot dari jabatannya. Nonaktif itu hanya temporer, dan berpotensi kader yang bermasalah kembali aktif setelah situasi reda,” ujar Suwardi kepada awak media, Senin (1/9/2025).
Ia menjelaskan, dalam Pasal 144 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), istilah penonaktifan sementara hanya berlaku bagi anggota DPR yang diadukan ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Jika terbukti bersalah, baru ada sanksi, namun jika tidak terbukti, maka statusnya dikembalikan.
“Pertanyaannya, penonaktifan anggota DPR RI oleh partai ini merujuk pada aturan mana? Kalau merujuk MD3, jelas anggota yang dinonaktifkan bisa kembali aktif jika tak terbukti bersalah. Itu kerugian besar bagi partai, karena publik melihat partai tidak serius menegakkan disiplin,” tegasnya.
Pria yang juga merupakan Direktur Pusat Studi Konstitusi, Demokrasi, dan Masyarakat yang berada di Fakultas Syariah UINSI Samarinda ini menilai, keputusan tersebut juga bisa merugikan partai dari sisi elektoral. Publik bisa semakin apatis melihat partai politik yang terkesan hanya menutup masalah tanpa solusi konkret.
“Ini bukan hanya soal individu, tapi menyangkut elektabilitas partai. Kalau kader yang dinilai bermasalah hanya dinonaktifkan sementara, lalu dikembalikan lagi, kepercayaan publik terhadap partai dan DPR akan semakin merosot,” jelasnya.
Akademisi Hukum UINSI Samarinda ini pun mengibaratkan langkah partai tersebut seperti menutup api dengan sekam baru. Hal ini pun bukan memadamkan api, tapi malah semakin besar.
“Kalau hanya temporer, setelah reda lalu dikembalikan, itu preseden buruk. DPR seharusnya lembaga terhormat, bukan semakin memperlihatkan sikap jauh dari kehormatan,” ujarnya.
Menurut Suwardi, seharusnya partai langsung menggunakan kewenangannya untuk melakukan Pergantian Antar Waktu (PAW). Dengan begitu, partai menunjukkan keseriusan sekaligus memberi efek jera agar kasus serupa tidak terulang.
“PAW setidaknya bisa menjadi pengingat bagi anggota dewan lain agar berhati-hati dalam berkomunikasi dan bertindak. Jangan sampai ucapan mereka menyakiti rakyat. Ini juga momentum untuk memperbaiki citra DPR agar kembali dihormati publik,” pungkasnya. (Redaksi)