OPINI – 17 Agustus 2025 menandai delapan dekade usia kemerdekaan Indonesia. Di berbagai penjuru negeri, suasana perayaan begitu semarak. Bendera merah putih berkibar di sekolah, kampung, bahkan di tengah laut. Anak-anak gembira mengikuti lomba, orang tua larut dalam suasana kebersamaan. Semua ini menghadirkan rasa syukur bahwa Indonesia telah merdeka.
Namun, di balik kemeriahan itu, kita diajak merenung: apakah makna kemerdekaan sudah sungguh hadir dalam kehidupan sehari-hari? Sebab merdeka bukan hanya bebas dari penjajahan asing, melainkan juga hidup bermartabat, berilmu, dan bijaksan sebagaimana makna kata mahardika.
Merdeka berarti terbebas dari segala bentuk penindasan. Namun kenyataan menunjukkan, sebagian masyarakat masih merasakan ketidakadilan. Tanah adat yang terancam tambang, hutan yang hilang, hingga kebijakan yang dirasa memaksa, menjadi tanda bahwa “penjajahan” dapat hadir dalam wajah baru.
Di Papua, makna merdeka sering dikaitkan dengan hak masyarakat atas tanah dan alamnya, yang kerap dikelola tanpa sepengetahuan warga. Di Maluku, jejak konflik masa lalu masih menyisakan luka, sementara akses pendidikan belum merata. Di Aceh, sejarah kekerasan memberi pesan bahwa merdeka seharusnya berarti bebas dari rasa takut. Di Sulawesi Utara, reklamasi mengubah wajah laut, menimbulkan pertanyaan tentang keberlanjutan lingkungan. Bahkan di beberapa daerah lain, rumah ibadah masih menghadapi penyegelan, menandakan bahwa kebebasan beragama belum sepenuhnya terjamin.
Semua itu menunjukkan bahwa kemerdekaan sejati masih perlu diperjuangkan. Para pendiri bangsa menegaskan, Indonesia berdiri atas semangat gotong royong dan persaudaraan. Itulah yang dituangkan dalam konstitusi: bahwa segala bentuk penjajahan harus dihapuskan, karena bertentangan dengan kemanusiaan dan keadilan. Dengan demikian, kemerdekaan bukan hanya untuk manusia, melainkan juga untuk seluruh makhluk dan alam yang menopang kehidupan.
Pada usia ke-80, Indonesia dapat diibaratkan sebagai beranda sebuah harapan. Harapan agar kemerdekaan tidak hanya berhenti pada simbol dan perayaan, tetapi mewujud dalam kebijakan yang adil, pendidikan yang merata, lingkungan yang lestari, serta ruang hidup yang layak bagi semua orang.
Seperti kata Gus Dur, Indonesia adalah milik seluruh rakyat tanpa kecuali. Maka tugas kita adalah menjaga agar kemerdekaan terus hadir nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Dari tanah Papua, mari rayakan kemerdekaan dengan sederhana bahagia sehari tanpa merintih berhari-hari. Sembari menyeruput kopi pahit, kita tetap menjaga harapan, semoga kemerdekaan benar-benar menjadi milik bersama.
Oleh: Ali Akbar Kaimudin
(Penggerak Komunitas Gusdurian Sorong)