SAMARINDA – Polemik kebijakan sistem satu arah di Jalan Abul Hasan terus menuai gelombang penolakan. Masyarakat, pelaku usaha, hingga pengemudi ojek online (ojol) bersuara lantang karena merasa dirugikan.
Sejumlah pengusaha mengaku omzet mereka turun hingga 70 persen sejak kebijakan ini berlaku. Para ojol pun harus memutar lebih jauh hanya untuk menjemput atau mengantar pelanggan.
Namun ironisnya, di tengah gelombang kritik dan penolakan, Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Samarinda tetap bersikeras melanjutkan kebijakan tersebut.
Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) FKIP Universitas Mulawarman, Zulfadly menilai langkah Dishub sangat cacat tata kelola. Pihaknya melihat kebijakan satu arah di Jalan Abul Hasan ini tidak melalui proses yang benar.
“Tidak ada sosialisasi yang layak, uji coba pun dilakukan tanpa perhitungan matang, dan respon masyarakat jelas-jelas diabaikan,” tegasnya.
Menurutnya, dalam tata kelola kebijakan publik, ada tahapan yang harus dijalankan. Pertama, sosialisasi. Pemerintah wajib menjelaskan kepada masyarakat tujuan dan dampak kebijakan. Kedua, trial atau masa percobaan yang betul-betul dikawal dengan evaluasi. Ketiga, mengukur respon masyarakat secara objektif. Jika mayoritas menolak, maka kebijakan harus ditinjau ulang atau bahkan dibatalkan.
“Tahapan itu tidak dijalankan. Dishub justru langsung memaksakan kebijakan, padahal masyarakat jelas-jelas keberatan,” ujarnya.
Dampak dari kebijakan ini sudah nyata di lapangan. Para pengusaha di sekitar Jalan Abul Hasan merugi karena akses pelanggan terhambat. Penurunan omzet hingga 70 persen jelas sangat memukul ekonomi lokal. Pengemudi ojol pun ikut terbebani, karena harus memutar lebih jauh untuk mengakses titik tertentu.
“Jangan lupa, pengusaha dan ojol ini adalah bagian dari denyut ekonomi kota. Kalau mereka dirugikan, artinya kebijakan ini kontraproduktif,” lanjutnya.
Lebih jauh, dirinya menegaskan bahwa kebijakan publik bukan hanya soal teknis lalu lintas, melainkan juga soal keadilan sosial dan keberpihakan pada masyarakat. Jika kebijakan justru mempersulit hidup rakyat, maka itu tanda bahwa kebijakan dibuat tanpa perspektif publik.
“Kami mendesak Dishub untuk transparan. Publik berhak tahu, apakah ada kajian akademis yang mendukung kebijakan ini? Apakah ada studi lalu lintas independen yang dijadikan dasar? Atau ini murni keputusan sepihak yang dipaksakan?” tegasnya.
Ia pun menolak sikap otoriter dalam pembuatan kebijakan publik. Mereka menegaskan akan terus mengawal persoalan ini bersama masyarakat.
“Kami tidak ingin Samarinda dikelola dengan cara yang serampangan. Jangan sampai ada kesan bahwa ada kepentingan tertentu yang menunggangi kebijakan satu arah ini,” katanya.
Di akhir pernyataannya, Zul mengingatkan pemerintah kota bahwa tujuan utama kebijakan publik adalah melayani masyarakat, bukan menyulitkan mereka.
“Kalau masyarakat merasa dirugikan, lalu untuk siapa kebijakan ini dibuat? Dishub harus berani meninjau ulang, atau kebijakan ini akan terus menjadi simbol cacat tata kelola di Samarinda,” tutupnya. (Redaksi)









